Minggu, 01 Januari 2012

Pura Mandara Giri

Pura Mandara Giri Semeru Agung
Keinginan pemeluk Hindu di Lumajang dan sekitarnya untuk membuat pura sesungguhnya telah muncul sejak tahun 1969. Keinginan ini tampak bersambut dengan keinginan sejumlah tokoh Hindu di Bali, terutama sejak diadakan nuur tirta (memohon air suci) dari Bali langsung ke Patirtaaan Watu Kelosot, di kaki Gunung Semeru, berkaitan dengan diaturkan upacara agung Karya Ekadasa Rudra di Pura Agung Besakih, di lambung Gunung Agung, Bali, Maret 1963. Kegiatan nuur tirta ke Watu Kelosot itu kembali dilakukan pada tahun 1979 berkaitan dengan digelarnya lagi upacara Ekadasa Rudra di Pura Agung Besakih. Pada akhir rangkaian Ekadasa Rudra tahun 1979 ini bahkan juga dilakukan upacara majauman ke Patirtaan Watu Kelosot.
Sejak itu dimulailah tradisi rutin nuur tirta saban kali di Besakih dan pura kahyangan jagat lain di Bali diaturkan upacara berskala besar. Kawasan Gunung Sumeru dengan mata air suci Watu Kelosot pun makin dikenal kalangan umat Hindu di Bali maupun di luar Bali. Sebelumnya manakala diaturkan upacara-upacara besar di tempat-tempat suci atau pura kahyangan jagat di Bali, para pandita atau sulinggih (pendeta) biasanya cukup hanya ngaskara ke Gunung Semeru, memohon ke hadapan Hyang Siwa Pasupati yang diyakini berstana di puncak Gunung Semeru. Seiring dengan kesadaran dan penghayatan umat Hindu terhadap ajaran agama, ditopang pula oleh kemajuan teknologi transportasi, nuur atau mendak tirta ke Gunung Semeru pun dilakukan langsung.
Toh, kendala teknis praktis kian dirasakan timbul dalam perjalanan waktu kemudian. Jarak tempuh Bali-Watu Kelosot yang bisa menghabiskan waktu 9-11 jam sekali tempuh, kerap mengharuskan umat Hindu bermalam di kawasan Lumajang. Andaikan sekadar menginap tentu tidak masalah, karena bisa bermalam di hotel mana saja. Rasa hati kurang sreg, kurang mantap, muncul manakala menginap sambil ngiring tirta yang baru saja dimohon penuh rasa bakti di petirtaan Watu Kelosot. Terasa kurang etis, tidak anut, bila menginapkan air suci di hotel. Dari sini kian kuat kukuhlah dorongan keinginan mendirikan tempat suci di sekitar Gunung Semeru.
Tidak hanya masalah teknis praktis dan etis dijadikan pertimbangan. Pendirian pura di kawasan dataran tinggi ini juga didasari konsep yang ditopang sumber-sumber rujukan kuat susastra-agama maupun sumber-sumber sejarah kuno. Dalam pandangan Hindu, dataran tanah atau gunung tertinggi merupakan kawasan tersuci secara spiritual. Ini tentu sangat tepat dengan posisi Gunung Semeru sebagai gunung tertinggi di tanah Jawa, bahkan di Kepulauan Nusantara. Kawasan ini secara historis juga disebut-sebut sebagai kawasan suci semasa Jawa Kuno, sebagaimana dapat disusuri dari sumber susastra Nagarakertagama berbahasa Jawa Kuno.
Izin lokasi pendirian pura diajukan, tetapi ditolak Bupati Lumajang dengan alasan tempat sempit dan dekat pemukiman non-Hindu. Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) setempat sempat menawarkan lokasi di Desa Kertasari, namun ditolak umat, karena merupakan daerah aliran lahar Gunung Semeru. Sampai akhirnya lokasi berdirinya pura sekarang ini dipilih, dengan luas awal cuma 25 x 60 meter, belakangan ditambah lagi menjadi 25 x 65 meter, seharga Rp 4,5 juta. Izin diajukan kembali, tiga tahun kemudian baru turun dari aparat berwenang.
Panitia Senduro-Bali
Pura dibangun bertahap. Setelah batu bata terbeli, padmasana mulai dibangun, menghadap ke timur. Tetapi tidak bisa dituntaskan. Dipindah agak ke utara (masih menghadap ke timur), tidak bisa diselesaikan juga. Ada pawisik (petunjuk gaib) agar dihadapkan ke selatan. Sejak itu pembangunan lancar dan punia (sumbangan) mengalir dari umat di Bali maupun di luar Bali.
Pendirian Pura bertambah lancar setelah rombongan dari Bali, antara lain :
• Tjokorda Gde Agung Suyasa / panglingsir Puri Ubud (Ida Sudah Lebar)
• Jero Gede Batur Alitan (ini kakek saya, masih sehat panjang umur dan saya bersama beliau saat sembahyang kesana).
• Mangku Sueca dari Pura Besakih.
Pendirian pura bertambah lancar setelah rombongan dari Bali, antara lain Jero Gede Alitan Batur, Tjok Gede Agung Suyasa, Mangku Sueca dari Besakih, tahun 1989 saat nuur tirta (memohon air suci) ke Semeru bertemu umat Hindu asli kawasan Semeru. Rombongan dari Bali ini pun bergabung dengan tim pembangunan pura setempat. Panitia gabungan Sendoro-Bali dibentuk terpadu. Rencana pun kian mengembang seiring dengan mengalirnya punia dari para bakta, umat penderma. Guna menjaga ketertiban dan pertanggungjawaban pengorganisasian, Parisada Kabupaten Lumajang lantas menunjuk sejumlah bakta (umat yang bersedia tulus berkorban) sebagai Panitia Penggalian Dana dan Pembangunan Pura Semeru, lewat Surat Penunjukan nomor 94/PHDI-LMJ/IV/1991.
Ketika awal diserahi tugas membangunan fisik pura, panitia cuma disodori dana Rp 40 juta. Dari penggalian dana sukarela kemudian terkumpul Rp 90 juta. Hingga kini total sudah dihabiskan dana sekitar Rp 1,8 milyar untuk pembangunan fisik pura dan sekitarnya. Arealnya pun meluas hingga kini hampir 2 hektar.
Kini bangunan fisik Pura Mandara Giri Semeru Agung sudah dilengkapi dengan candi bentar (apit surang) di jaba sisi, dan candi kurung (gelungkuri) di jaba tengah. Di areal ini dibangun bale patok, bale gong, gedong simpen, dan bale kulkul. Ada juga pendopo, suci sebagai dapur khusus dan bale patandingan. Di jeroan, areal utama, ada pangapit lawang, bale ongkara, bale pasanekan, bale gajah, bale agung, bale paselang, anglurah, tajuk, dan padmanabha sebagai bangunan suci utama dan sentral.
Di lokasi agak menurun, di sisi timur, dibangun pasraman sulinggih, bale simpen peralatan dan dua bale pagibungan selain dapur. Sedangkan di sisi selatan berdiri wantilan megah dan luas. Panitia juga menyiapkan pembangunan kantor Sekretariat Parisada, perpustakaan dan gerbang utama waringin lawang.
Hari Minggu Umanis, Wuku Menail, tanggal 8 Maret 1992, dipimpin delapan pendeta, digelarlah untuk pertama kalinya upacara Pamlaspas Alit dan Mapulang Dasar Sarwa Sekar. Dengan begitu status dan fungsi bangunan pun berubah menjadi tempat suci, pura. Selanjutnya pada bulan Juni – Juli 1992 diaturkan upacara besar berupa Pamungkah Agung, Ngenteg Linggih, dan Pujawali.
Lewat Surat Keputusan Nomor: 07/Kep/V/PHDI/1992, dengan memperhatikan hasil pertemuan pihak-pihak instansi, badan dan majelis yang terkait, di Wantilan Mandapa Kesari Warmadewa, Besakih, tanggal 11 Mei 1992, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat lantas menetapkan nama, status dan pengelola pura. Ditetapkan antara lain: nama pura adalah Pura Mandara Giri Semeru Agung dengan status Pura Kahyangan Jagat, tempat memuja Hyang Widhi Wasa. Sebagai panyungsung adalah seluruh umat Hindu di Indonesia.
Kini kehadiran pura malah dirasakan memberi rezeki bagi penduduk setempat. Warung-warung makanan hingga kios penjual kaos berlogo Semeru Agung dan beragam cenderamata lain pun berkembang. Begitu juga penduduk di sekitar pura mulai menyediakan kamar-kamar untuk menginap bagi umat Hindu yang datang bersembahyang ke pura. Bahkan, penginapan juga dibangun di sana oleh penduduk setempat. Saban hari memang ada saja umat yang bersembahyang ke Semeru Agung. Lebih-lebih lagi bila hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan dan sejenisnya.
Kehadiran pura ini, nyatanya tidak sebatas hanya mengangkat nama Senduro, Lumajang dan sekitarnya menjadi tambah tenar di kalangan penganut Hindu di seluruh Indonesia. Lebih dari sekadar tenar, kehadiran Pura Mandara Giri Semeru Agung begitu nyata juga mampu memutar roda perekonomian masyarakat di sekitarnya. Di sini vibrasi atau getaran kesucian religius dan spiritualitas betapa nyata membuahkan peluang ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, sekaligus menciptakan kerukunan antarsesama manusia. (*)
Memuja Hyang Siwa Pasupati
PEMILIHAN lokasi pura di lambung Gunung Sumeru tidaklah sembarangan. Ada konsep kuat melatarinya, dan ini sangat terkait dengan sumber-sumber susastra-agama yang ada. Antara lain disuratkan, ketika tanah Jawa masih menggang-menggung, belum stabil, Batara Guru menitahkan para Dewa memenggal puncak Gunung Mahameru dari tanah Bharatawarsa (India) ke Jawa. Titah itu dilakonkan para Dewa. Puncak Gunung Mahameru dipenggal, diterbangkan ke tanah Jawa. Jatuh di sisi barat, tanah Jawa berguncang. Bagian timur berjungkat, sedangkan bagian barat justru tenggelam.
Potongan puncak Gunung Mahameru itu pun digotong lagi ke rah timur. Sepanjang perjalanan dari barat ke bagian timur tanah Jawa, bagian-bagian puncak Gunung Mahameru itu ada yang rempak. Bagian-bagian yang rempak itu kelak tumbuh menjadi enam gunung kecil masing-masing Gunung Katong (Gunung Lawu, 3.265 m di atas permukaan laut), Gunung Wilis (2.169 m), Gunung Kampud (Gunung Kelud, 1.713 m), Gunung Kawi (2.631 m), Gunung Arjuna (3.339 m), Gunung Kemukus (3.156 m).
Adapun puncak Mahameru itu kemudian menjadi Gunung Sumeru (3.876 m). Inilah puncak tertinggi Pegunungan Tengger sekarang — bahkan menjadi gunung tertinggi seantero Indonesia — yang membentuk poros dengan Gunung Bromo atau Gunung Brahma. Sejak itu tanah Jawa menjadi stabil, tak lagi goyang, menggang-menggung. Di lambung Gunung Semeru itulah sejak tahun 1992 resmi berdiri megah Pura Mandara Giri Semeru Agung.
Tentu saja panteon pemindahan Gunung Mahameru di tanah Hindu menjadi Gunung Semeru — begitu nama otentik yang tersuratkan, namun orang-orang kini terbiasa menyebut Semeru — di tanah Jawa (Nusantara) itu disuratkan jauh sebelum Pura Mandara Giri Semeru Agung dibangun. Kisah tua itu tersurat benderang dalam kitab Tantupanggelaran berbahasa Jawa Tengahan, digubah dalam bentuk prosa. Apa yang menarik dari kisah pemindahan gunung itu?
Panteon itu jelas menunjukkan persebaran Hindu paham Siwaistis dari tanah India ke negeri Nusantara yang berpusat di tanah Jawa. Dalam pandangan Hindu Siwaistis yang berpengaruh besar di Nusantara, termasuk Bali hingga kini, Dewa tertinggi adalah Siwa. Dewa Siwa bersemayam di gunung tertinggi. Itu berarti di puncak Gunung Mahameru (Himalaya) dalam alam India, atau puncak Gunung Sumeru dalam alam Nusantara. Teks-teks Purana India yang tergolong kitab Upaweda (penjelasan lebih lanjut atas Weda) memang menyuratkan Tuhan Yang Mahatunggal bersemayam di puncak Mahameru — dikenal pula dengan nama Gunung Kailasa atau Gunung Himawan, yang bersalju abadi.
Di puncak gunung yang dikenal juga sebagai pusat padma raya itu Siwa, yang juga dikenal sebagai Parwataraja Dewa, menurunkan ajaran-ajaran-Nya kepada sakti-Nya, Dewi Parwati, Dewi Gunung. Ajaran-ajaran itu biasanya disuratkan dalam bentuk tanya jawab antara Hyang Siwa dengan Dewi Parwati, kemudian dicatat dalam berbagai Yamala, Damara, Siwasutra, maupun kitab Tantra. Lebih lanjut, kitab-kitab yang menguraikan perihal ajaran yoga memberikan tuntunan sangat benderang bahwa bagi seorang sadhaka, dia yang teguh kukuh dan penuh disiplin menjadikan dirinya sebagai sarana dasar pelaksanaan yoga, puncak gunung itu ada di sahasrara padma, yakni di puncak ubun-ubun kepala manusia. Dengan begitu, puncak gunung tiada ubahnya dengan kepala manusia, tempat yang sangat penting sekaligus sangat patut dijaga kesuciannya.
Menghormati Gunung
Paham Siwaistis memang memberi posisi serta penghormatan penting dan tinggi terhadap gunung. Di mana daratan tertinggi dalam suatu kawasan atau wilayah, di sanalah dipandang sebagai pusat buana (madyanikang bhuwana) sekaligus hulu bagi kawasan atau wilayah sekitar. Di sana pula Tuhan sebagai Siwa Yang Mahasuci distanakan, lalu dipuja. Tak heran bila tempat-tempat suci untuk lingkup luas, umum (kahyangan jagat), lantas didirikan di gunung, entah di puncak, di lambung atau di kaki gunung, karena di sanalah dinilai secara spiritual sebagai kawasan tersuci.
Bila bukan di gunung maka pura akan diorientasikan ke arah gunung. Bentuk pemujaan (palinggih) pun mengerucut ke atas, menyerupai gunung, entah berupa candi seperti di Jawa, entah berwujud padmasana, atau pun meru layaknya di Bali. Atau bahkan berupa lingga, batu berdiri. Dari pemahaman inilah lantas gunung disebut pula sebagai lingga acala, lingga yang tidak bergerak sekaligus juga berarti lingga yang tidak diciptakan manusia. Dalam bahasa Jawa Kuna, acala memang juga diartikan gunung, karang. Hindu memang mengajarkan manusia untuk senantiasa berorientasi atau menjadikan yang Abadi, tidak bergerak, itu sebagai tujuan. Karena itu, selain pada gunung, Hindu juga mengagungkan matahari sebagai mahasumber energi hidup yang abadi.
Dengan dasar pandangan berwawasan kemestaan demikian maka sangat tepatlah bila di Gunung Semeru dibangun pura, sebagai tempat umat Hindu se-Indonesia memuja Hyang Siwa Pasupati. Puncak Gunung Semeru lantas menjadi Gunung Agung (yang sama artinya dengan Mahameru, kini berketinggian 3,142 m) tempat berstana Hyang Putranjaya atau Mahadewa, bagiannya yang tercecer menjadi Gunung Batur (1.717 m) stana Dewi Danuh (Wisnu), dan Gunung Lempuyang sebagai stana Hyang Gnijaya (Iswara). Sejak itu jagat Bali disuratkan stabil kembali, dan ketiga gunung ini pun mendapat kedudukan penting, selain Gunung Watukaru (2,276 m), Pucak Mangu, Penulisan (1.475 m), Andakasa, bukit karang Uluwatu, dan Goa Lawah. Dari semuanya ini, Gunung Agung-lah dinilai sebagai pusat di Bali, karena tertinggi di Pulau Dewata. Karena itu pula, maka hingga kini bila di Pura Agung Besakih — begitu juga pura-pura Sad Kahyangan lain di Bali — ada upacara besar (karya agung) tetap mesti nuur tirta ke Semeru. Sebaliknya kini bila di Pura Semeru ada upacara, maka terlebih dahulu juga disertai dengan matur piuning ke Pura Sad Kahyangan di Bali, termasuk ke Gunung Rinjani (Lombok, 3.726 m).
Dari gunung yang lebat ditumbuhi pepohonanlah air mengalir menyuburkan tanah, bumi. Sebelumnya, air pegunungan ditampung danau, lalu mengalir lewat sungai-sungai. Setelah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan memenuhi hidup manusia, air lantas dialirkan lagi ke laut. Panas matahari menguapkan air laut, menjadi mendung, dan mendung turun, menjadi hujan, kembali diserap gunung dengan pepohonannya, ditampung danau, melesak ke tanah, menyembul menjadi mata air, mengalir dan terus mengalir. Begitu seterusnya, berputar dan berputar, tiada henti.
Itu alasan gunung dalam kosmologi Hindu diposisikan sebagai hulu, danau di tengah, dan laut di hilir. Ketiganya membentuk alur siklus kesemestaan. Dari gunung sebagai hulu itulah kerahayuan mengalir bagi segenap makhluk. Manakala di tempat suci di gunung, seperti di Pura Besakih, di lambung Gunung Agung, maupun di Pura Mandara Giri Semeru Agung, di lambung Gunung Semeru, digelar upacara tawur, misalnya, maka itu akan dialirkan ke dataran di hilir atau di bagian bawah dataran tinggi itu lewat sungai-sungai, masuk sawah, tegalan, parit-parit, dan seterusnya. Dengan begitu pemilihan gunung tertinggi sebagai pusat buana memang didasarkan wawasan yang luas, mendalam, tidak saja secara spiritual, tetapi juga secara kosmologis, geografis, sosiologis, dengan kesadaran ekologis yang kuat. (*)

 
Template designed using TrixTG