Minggu, 01 Januari 2012

Pura Parahyangan Agung Jagatkarta Tamansari Gunung Salak

Pura Parahyangan Agung Jagatkarta Tamansari Gunung Salak
Di bangunnya pura Salak di daerah ini memang bukan tanpa alasan. Konon di tanah inilah Prabu Siliwangi sang Raja Padjadjaran yang membawa kemasyuran bagi tanah Sunda pernah berdiam.
Bahkan ada yang percaya di tempat ini Prabu Siliwangi menghilang bersama para prajuritnya. Hingga akhirnya sebelum membangun pura, umat Hindu lalu memutuskan untuk membangun terlebih dulu candi dengan patung macan berwarna putih dan hitam. Sebagai penghormatan terhadap Kerajaan Padjadjaran, Kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan.
Pura Gunung Salak , Pengakuan Riwayat Padjadjaran

Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat di Desa Taman Sari, Lereng Gunung Salak, umat Hindu Bali berdatangan dari berbagai pelosok tanah air untuk menjadi saksi hidup resminya pura Gunung Salak, pura terbesar di Pulau Jawa.
Masa penantian selama 10 tahun untuk membangunnya, kini hampir berakhir. Sesaat lagi, pura ini akan resmi menjadi tempat ibadah kaum Hindu melalui upacara Menungkah dan Ngenteg Linggih.
Berdirinya sang pura di Gunung Salak ini bukan tanpa alasan. Karena di sinilah konon kerajaan Hindu tanah Sunda yang termasyur pernah berdiri. Kerajaan Padjadjaran dibawah pemerintahan Prabu Siliwangi.
Akses jalan dari kaki Gunung Salak menuju pura sudah diperlebar. Sehingga kendaraan kami bisa mencapai pura dengan mudah.Namun karena banyaknya umat yang akan datang untuk mengikuti upara Ngenteg Linggih atau peresmian pura, panitia mengharuskan seluruh kendaraan parkir jauh dari areal pura.
Sehingga banyak umat yang harus berjerih lelah berjalan kaki menuju pura. Begitu juga dengan kami. Di tempat ini pak Made Santika dan pak Mangku Made Yatnawiguna menyambut kami sambil memberi penjelasan seputar pura dan upacara Ngenteg Linggih atau peresmian pura yang akan dilakukan besok.
Dirintis sejak tahun 1995, pembangunan pura ini merupakan hasil kerja gotong royong umat. Memang belum semua bagian selesai dikerjakan. Namun bangunan pura utama, seperti Pura Padmesana dan Balai Pasamuan Agung dan Mandala Utama segera selesai.
Rencananya pura Gunung Salak ini akan terdiri dari empat area. Misalnya area utama Ning Mandala yang merupakan area suci hingga hanya para pemangku agama yang bisa menjejakan kakinya.Bangunan penting lain adalah Padmesana yang merupakan tempat persemayaman Tuhan serta Balai Pasamuan Agung.
Di bangunnya pura Salak di daerah ini memang bukan tanpa alasan. Konon di tanah inilah Prabu Siliwangi sang Raja Padjadjaran yang membawa kemasyuran bagi tanah Sunda pernah berdiam.
Bahkan ada yang percaya di tempat ini Prabu Siliwangi menghilang bersama para prajuritnya. Hingga akhirnya sebelum membangun pura, umat Hindu lalu memutuskan untuk membangun terlebih dulu candi dengan patung macan berwarna putih dan hitam. Sebagai penghormatan terhadap Kerajaan Padjadjaran, Kerajaan Hindu terakhir di tanah Parahyangan.
Menjemput Melasti
Belum ada literatur yang bisa memastikan kapan agama Hindu masuk ke wilayah Jawa Barat. Tapi setidaknya telah ditemukan sejumlah bukti peninggalan Kerajaan Hindu di Jawa Barat yakni Tarumanegara dengan rajanya yang terkenal Purnawarman.
Sebagian peninggalan itu diantaranya kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Jejak kaki sang raja bahkan tercetak pada sebuah batu yang lalu dikenal sebagai prasasti Ciaruteun.
Jejak kaki Raja Purnawarman ini diibaratkan seperti telapak kaki Dewa Wisnu, salah satu dewa umat Hindu. Di Museum Nasional juga terdapat prasasti Tugu. Prasasti Hindu tertua yang ditemukan di Pulau Jawa.
Dalam prasasti Tugu yang diperkirakan berasal dari tahun 450 Masehi ini misalnya, penunjukkan Prabu Purnawarman dari Tarumanegara pernah memerintahkan penggalian saluran terusan sungai dari Bekasi ke Pelabuhan Sunda Kelapa untuk sistem pengairan dan membuka jalur pelayaran ke pedalaman.
Pada akhir abad ke VII, Kerajaan Tarumanegara diduga hancur takluk pada Kerajaan Sri Wijaya. Baru pada awal abad ke 14 hadir kembali Kerajaan Hindu Sunda yang cukup kuat dibawah kepemimpinan Prabu Siliwangi. Yakni Kerajaan Padjadjaran dengan ibukotanya terletak disekitar Pakuan yang kini dikenal sebagai kota Bogor.
Sayangnya, tidak banyak yang ditinggalkan sang Prabu Sri Paduga Maharaja. Kebanyakan justru tentang mitos yang masih dipercaya hingga kini walau ratusan tahun sudah berlalu. Seperti kemampuannya untuk menghilang atau muksa. Berbagai kesaktian sang prabu ini pula yang jadi latarbelakang berdirinya pura di Gunung Salak.
Konon, dulu sering ada hal-hal gaib yang terjadi di wilayah ini yang berhubungan dengan Prabu Siliwangi, raja masyur dari Kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat.
Pendirian pura di Gunung Salak yang dipercaya sebagai petilasan Sri Paduga Maharaja Prabu Siliwangi, bukan hanya membawa kegembiraan bagi para umat Hindu. Warga sekitar juga seperti kecipratan berkah. Aneka dagangan terutama yang berkaitan dengan ritual agama Hindu seperti bertebaran.
Keadaan semakin ramai menjelang peresmian pura. Keramaian dilokasi pura ini sebetulnya sudah berlangsung jauh sebelumnya. Sejumlah ritual pendahuluan telah dilaksanakan. Dan memasuki puncaknya pada hari ini.
Semua persyaratan perlengkapan upacara dikerjakan ratusan umat Hindu. Mereka ini datang dari berbagai daerah bekerja, bergotong royong tanpa pamprih. Nayah demikianlah sebutannya.
Tidak heran kenapa mereka merasa antusias. Ini adalah peristiwa yang sakral dan juga jarang terjadi. Upacara seperti ini hanya dilakukan sekali saja saat pendirian sebuah pura. Apalagi pura ini berstatus pura Penatara Agung dengan kedudukan pura sebagai pengepon jagad.
Untuk seorang seperti Ketut Mandre beserta rombongan yang datang dari Karangasem, Bali dengan biaya sendiri, inilah saatnya mereka membaktikan diri. Dengan keahlian mereka membuat caru atau qurban dari hewan kerbau dan kijang sebagai syarat untuk upacara.
Tidak hanya dari pulau Bali. Juga ada rombongan petani dari Lampung Tengah, Kabupaten Tulang Bawang yang sudah sepekan ada ditempat ini. Seperti ibu Parmi yang membawa serta putra putrinya untuk ikutan ngayah.
Suasana semakin ramai. Puncak Karya Ngenteg Linggih akan berlangsung esok hari. Umat Hindu terutama dari wilayah Jabotabek baik yang tua kaum muda dan juga anak-anak terus berdatangan. Mereka tidak ingin ketinggalan mengikuti upacara peresmian pura.
Hari ini warga Hindu yang berada di Gunung Salak akan menyambut rombongan yang melakukan melasti atau penyucian sarana pemujaan dan penyucian diri di laut. Rombongan melasti yang akan dijemput itu berangkat dari Pura Segara, Cilincing, Jakarta Utara dan Pelabuhan Ratu.
Sebagian warga yang turun gunung semua bersuka cita menyambut rombongan yang membawa para betara yang disimbolkan dalam daksine pelinggih serta berbagai macam banten atau sesajen. Mereka dijemput, dibawa menuju Pura Gunung Salak. Seluruh perangkat upacara diletakkan di balai.
Saatnya persiapan serta penyucian tempat dan perangkat upacara. Suasana bersuka terasa dominan terutama saat menunggu para pemangku dan pandite menyiapkan upacara. Tapi ketika saat tiba berdoa suasana berubah hening.
Upacara ini berakhir dengan dibawanya seluruh banten dan daksine pelinggih ke balai Pasauan Agung di Utama Ning Mandala melewati kori Agung. Seluruh umat kembali memanjatkan doa untuk kelancaran karya utama esok hari.
Hujan Pun Turun
Hari ini akan menjadi catatan sejarah tersendiri bagi umat Hindu. Mereka akan memiliki sebuah pura utama di Gunung Salak. Pura Parahyangan Agung JagatkartyaTaman Sari Gunung Salak, demikianlah namanya sesaat lagi akan diresmikan.
Upacara Ngenteg Linggih bertujuan untuk membangun pelinggih, mensakralkan dan melaksanakan ide sang yang widi wasa dan manivestasi-manivestasinya sehingga bangunan tersebut memenuhi syarat sebagai niase atau tempat pemujaan.
Seluruh sesajen yang ditandu diturunkan untuk dibersihkan. Nantinya tempat yang belum rampung ini akan menjadi pemandian atau tempat pembersihan. Upacara ini sebagai ungkapan seluruh umat merendahkan diri kepada Yang Kuasa.
Tarian Rejang Dewa kembali memimpin pawai menuju pura. Iring-iringan kembali memasuki area Mandala Utama. Hari ini yang datang lebih ramai. Sehingga area Mandala Utama tidak bisa menampungnya.
Banyak yang akhirnya terpaksa menempati posisi diluar area pura utama. Sambil menanti saatnya berdoa, tarian Topeng Sidekarya menjadi hiburan tersendiri. Selain itu juga ada keelokan tari Rejang Dewa yang merupakan tari sakral dilakoni gadis remaja masih suci.
Tarian ini bertujuan mengundang dewa dan dewi dari langit agar hadir menyaksikan prosesi ini. Tirta atau air suci yang dipercikan para pemangku kepada jemaat menandakan saat berdoa akan segera dimulai. 10 pedange akan memuput upacara ini.
Kini saatnya seluruh batare diturunkan lagi lalu membentuk barisan pawai, kembali turun ke luar pura utama. Ritual ini menyimbolkan para batare meninjau tempat.
Belumlah upacara usai, hujan turun dengan lebat. Kondisi yang umum terjadi di Bogor yang memang dikenal sebagai kota hujan.
Tapi hujan kali ini dianggap berkah tersendiri untuk upacara Ngenteg Linggih. Hujan di puncak acara dipercaya mengambarkan limpahan berkah akan tercurah bagai hujan yang lebat.
Karena itulah walau hujan lebat upacara tetap berlangsung. Ritual yang dilakukan di Balai Peselang ini adalah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang diberikan kepada umat. Akhirnya seluruh upacara puncak hari ini usai digelar.
Kini pura ini resmi menyandang nama Pura Parahyangan Agung Jagatkarta Tamansari Gunung Salak. Wujud pengakuan akan sejarah yang mewarisi ajaran leluhur sambil terus berupaya mengamalkannya secara benar sesuai agama Hindu. (Sup)

 
Template designed using TrixTG