
Pura Payogan Agung Kutai
Made Santha dari Satriavi Balikpapan memaparkan, pura ini punya nilai
historis, bukan saja bagi umat Hindu setempat, melainkan bagi umat
Hindu di seluruh Nusantara. Betapa tidak, Kutai merupakan suatu daerah
yang pertama mendapat pengaruh Hindu di Indonesia. Periode pengaruh
Hindu India adalah masa kedatangan para pedagang dan Brahmana India.
Dalam sejarah disebutkan, pada abad ke-4 Masehi, ada sebuah berita
dari India yang menyebut kata Queetaire yang diduga berasal dari Kutai
Kertanegara yang berarti hutan belantara. Bukti adanya relasi
India-Kutai diperkuat dengan ditemukannya peninggalan prasasti berupa
tiang batu (Yupa). Isi prarasti berupa peringatan upacara kurban kepada
para Brahmana berupa antara lain ribuan ekor lembu.
Daerah Kutai adalah daerah yang dilintasi garis kathulistiwa, garis
tengah bumi. Ilmu perbintangan Hindu (Jyotisha) sangat memperhatikan
posisi alam semesta seperti posisi matahari, bulan dan bumi dalam garis
lurus. Artinya, ketika bulan dan matahari tegak lurus di atas
kathulistiwa dipilih oleh umat Hindu saat itu untuk melaksanakan
upacara-upaya tertentu, seperti Bhuta Yadnya dan Dewa Yadnya.
Para Brahmana sangat sentral perannya dalam membangun Kerajaan Kutai
Kertanegara yang raja pertamanya adalah Kudungga. Kemudian lahir putra
mahkota Aswawarman yang menjadi raja kedua dengan tiga orang putra yang
satu di antaranya bernama Mulawarman. Kelak, Mulawarman merupakan
penerus tahta Kutai Kertanegara. Pada masa pemerintahan Mulawarman-lah,
Kutai mengalami kejayaan dan rakyatnya makmur.
Saat itu dibangun tempat ibadah berupa pura di berbagai tempat.
Kendati Pura Payogan Agung, Kutai yang berdiri kini letaknya tidak
persis di pusat bekas Kerajaan Kutai Kertanegara, namun lokasi yang
dipilih tetap istimewa. Ini sebagai penanda bahwa sembilan abad, sampai
abad ke-13 (saat pemerintahan Darma Setia), kerajaan Hindu pernah
berjaya di Kalimantan yang pengaruhnya kala itu sampai ke pelosok
Nusantara.
Lembu Suana, Simbol Kota Tenggarong
Kemasyuran Kerajaan Kutai Kartanegara pernah setara dengan Majapihit
dan Mataram. Namun akhirnya pameo usang: tiada yang abadi di dunia ini
akhirnya terjadi pula pada kerajaan Hindu yang berpusat di Kaltim itu.
Setelah berjaya hampir 13 abad sejak Kudungga, raja pertama, dengan
puncak keemasan di era Mulawarman — raja ke-3 — Kutai Kartanegara
akhirnya perlahan redup.
Pada saat mulai redupnya Kerajaan Kutai Kartanegara Mulawarman
berpusat di Muara Kaman, pada abad ke-13 berdiri pula kerajaan baru
bercorak Hindu Jawa di hilir Sungai Mahakam. Namanya Kutai Kartanegara
Kertanegara dengan raja pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti. Seiring
dengan perjalanan waktu, sebagaimana kisah raja-raja Nusantara lainnya,
terjadi saling serang dan saling takluk.
Perang dahsyat antara Kutai Kartanegara Mulawarman yang saat itu
dipimpin Darma Setia dari dinasti ke-27 dengan Kutai Kartanegara
Kertanegara yang dipimpin Aji Sinum Panji tak bisa dielakkan. Perang
yang memakan banyak korban itu berakhir dengan kekalahan Darma Setia.
Kejayaan Kutai Kartanegara Mulawarman yang terukir sepanjang 13 abad pun
terkubur bersama kusuma kerajaan.
Aji Sinum Panji kemudian melebur negeri taklukannya menjadi Kutai
Kartanegara Kertanegara dengan pusat di Jahitan Layar, yang kini disebut
Kutai Kartanegara Lama. Setelah Raja Aji Sinum Panji wafat, tahta
kerajaan diserahkan kepada Dipati Agung (1635 – 1650). Singkatnya,
secara turun-temurun keturunannya memimpin sampai yang terakhir Sultan
A.M. Parikesit (1915-1960).
Sejak tidak diakuinya kesultanan dalam struktur birokrasi RI,
keturunan AM Parikesit akhirnya tak memperoleh kekuasaan secara formal.
Kendati demikian, jejak Kerajaan Kutai Mulawarman dan Kutai Kertanegara
tetap dikenang dan hadir di hati warga Kutai Kartanegara sampai kini.
Bila kita berkunjung, prasasti berupa Yupa era Mulawarman bersama
peninggalan sejarah lainnya masih bisa disaksikan di Museum Mulawarman,
Tenggarong.
Hormati Leluhur
Yang menarik, masyarakat dan pemda setempat tampaknya sungguh
menyadari sejarah masa lalunya. Kendati sisa-sisa keturunan langsung
raja Hindu Kutai Kartanegara tak lagi ditemukan, masyarakat setempat
yang kini mayoritas beragama Islam (yang beragama Hindu hanya 30 KK, itu
pun semua pendatang) tetap menghormatinya. Antara lain membatu
sepenuhnya dalam pemugaran Pura Payogan Agung dan menetapkan Lembu Suana
sebagai simbol Kota Tenggarong, Kutai Kartanegara.
Kini, patung Lembu Suana dalam ukuran besar berdiri megah di Pulau
Kumala, suatu delta di tengah Sungai Mahakam yang disulap jadi kawasan
wisata. Patung Lembu Suana berwarna legam keemasan di Pulau Kemala,
Kutai Kartanegara itu merupakan buah karya pematung kawakan kelahiran
Bali, Nyoman Nuarta. Elok dan artistik sekali jika dipandang dari menara
putar (sky tower) di ketinggian 80 meter.

